Senin, 21 Oktober 2013

Kapitasi; Menyingkirkan Margin Menantang Profesionalitas

Hingga saat ini, apotek dan obat adalah bisnis tanpa krisis. Sehebat apapun krisis melanda Indonesia, pertumbuhan apotek tidak pernah surut. Di tengah kepanikan dan keterjepitan eknonomi berbagai penyakit timbul. Apotek subur berkembang dalam pupuk dan nutrisi kegalauan sosial.

Konstelasi akan segera berubah sebentar lagi. Cara pembayaran dengan sistem kapitasi bisa menjadi mimpi buruk. Negara datang dengan membawa pesan perlindungan kesehatan bagi semua. Siapa diuntungkan ?

Kapitasi membayar di muka biaya pelayanan kesehatan (baca : obat). Ini akan berimplikasi bahwa keuntungan kotor tidak lain merupakan sisa hasil pelayanan atas peserta yang menjadi tanggungan fasilitas yang bersangkutan. Margin dan keuntungan dari penjualan obat yang diprediksi, akan berantakan. Peserta memiliki alasan cukup (legitimatif) untuk tidak perlu mengeluarkan rupiah dari kantung (not out of pocket) pada saat meminta pelayanan. Kegalauan sosial akan bermetamorfosa menjadi kekacauan managemen fasilitas pelayanan.

Akan diketemukan suatu formula sosial baru bahwa menurunkan angka morbiditas dengan melakukan upaya-upaya promotif dan preventif menjadi kunci kesuksesan. Pada saat yang sama, membeludagnya pasien akan menjadi petaka besar akibat tersedotnya budget kapitasi secara besar-besaran dan sekaligus sebagai bentuk "penganiayaan diri sendiri" bagi tenaga kesehatan (baca : dokter, apoteker dst) yang tidak berperan sebagaimana fungsinya.

Kini kembali ke kita. Sebagai Apoteker, tertantang. Apotek, obat dan kapitasi adalah instrumen. Kita sangat yakin bisa mempertemukan ketiganya dalam suatu kesetimbangan yang dinamis. Bukan margin, bukan juga keuntungan obat. Profesionalitas kita akan dihargai setimpal dengan besarnya upaya penyehatan masyarakat yang kita lakukan sendiri. Berani ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar